[1] Mantan perawat EPA Thu Phuong (Vietnam), yang mengajar generasi muda di Vietnam

EPA帰国者紹介

Dalam proyek ini, mantan perawat EPA Thu Phuong telah berpartisipasi pada pertemuan awal (Januari 2020), dan pada memberikan presentasi tentang kondisi keperawatan di Vietnam pada pertemuan yang berjudul “Pandangan Asing terhadap Pramurukti Jepang-Dengan Fokus pada Terapi Menelan” .

Setelah kembali ke Vietnam, selain mengajar dan membimbing generasi penerus di Universitas Keperawatan, saya juga melakukan penelitian tentang luka tekan (pressure ulcer) di sekolah pascasarjana. Selama saya tinggal di Jepang sebagai perawat EPA, saya terkesan dengan pengobatan luka tekan di Jepang.

Apa yang membuat Anda ingin menjadi perawat?

Apa yang membuat Anda ingin menjadi perawat?
Alasan kenapa saya menjadi perawat berawal ketika saya di sekolah dasar, ayah jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit yang jaraknya sekitar 70 kilometer dari rumah. Di Vietnam, perawat dan dokter tidak mengurus hal-hal seputar pribadi pasien. Akibatnya, ada masa ketika ibu harus sering menemani ayah dan meninggalkan rumah dalam beberapa waktu. Sejak saat itu, saya mulai merasa bahwa saya ingin menjadi seorang tenaga medis yang profesional.

Bagaimana alur Anda mendaftar EPA?

Setelah lulus S1 dari perguruan tinggi keperawatan selama empat tahun di Ibu Kota Hanoi, saya kembali ke kampung halaman dan mulai bekerja sebagai perawat. Saya kebetulan melihat berita tentang sistem EPA sekitar dua tahun setelah mulai bekerja.

Kemudian setelah melakukan pencarian di internet, saya menemukan informasi bahwa untuk mengikuti program ini tidak dipungut biaya, jadi saya mendaftarkan diri pada bulan Oktober 2013. Saya terkejut ketika mengetahui bahwa program ini gratis, dan bahkan sempat tidak percaya.

Bagaimana pelatihan Anda sebelum berangkat ke Jepang?

Memang sulit, tetapi jika mengingat ke belakang, saat itu adalah saat yang tepat untuk konsentrasi belajar tanpa perlu mengkhawatirkan masalah keuangan.

Bagaimana jadwal Anda belajar?

Istirahat makan siang setelah belajar dari pukul 8 pagi sampai siang. Kemudian belajar dari pukul 1 siang sampai pukul 5 sore. Belajar lagi lebih lanjut dari pukul 8 malam sampai pukul 10 malam dengan diselingi makan malam di antaranya. Saya pergi tidur pukul 11 malam dan bangun pukul 6 pagi keesokan harinya. Begitulah kehidupan asrama yang penuh dengan belajar. Beberapa orang bahkan belajar sampai pukul 3 pagi sebelum ujian. Saat mengikuti kelas dan latihan yang berkaitan dengan budaya keperawatan Jepang, saya lulus Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (JLPT) tingkat N3 dalam waktu setengah tahun dan lulus tingkat N2 satu tahun kemudian.

Bagaimana jadwal Anda belajar?

Istirahat makan siang setelah belajar dari pukul 8 pagi sampai siang. Kemudian belajar dari pukul 1 siang sampai pukul 5 sore. Belajar lagi lebih lanjut dari pukul 8 malam sampai pukul 10 malam dengan diselingi makan malam di antaranya. Saya pergi tidur pukul 11 malam dan bangun pukul 6 pagi keesokan harinya. Begitulah kehidupan asrama yang penuh dengan belajar. Beberapa orang bahkan belajar sampai pukul 3 pagi sebelum ujian. Saat mengikuti kelas dan latihan yang berkaitan dengan budaya keperawatan Jepang, saya lulus Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (JLPT) tingkat N3 dalam waktu setengah tahun dan lulus tingkat N2 satu tahun kemudian.

Kapan Anda datang ke Jepang?

Saya datang ke Jepang pada bulan Mei 2015 sebagai perawat EPA Angkatan ke-2 dari Vietnam. Setibanya di bandara, saya merasa udaranya bersih dan berbeda dari Vietnam.

Kapan Anda mulai bekerja di rumah sakit?

Pada bulan Agustus 2015, saya mendapat pekerjaan di Rumah Sakit Showa di Kota Shimonoseki, Prefektur Yamaguchi. Ada perawat dan pramurukti EPA dari Indonesia dan Filipina yang lulus ujian nasional di rumah sakit tersebut. Kemudian saya dan dua teman saya dari Vietnam datang bergabung.

Saya senang dan terkesan kepada para direktur rumah sakit dan kepala perawat yang telah membentuk kelompok pertukaran dengan perawatan dan pramurukti EPA. Setiap dua atau tiga bulan sekali saya juga diajak berwisata 1 hari (tanpa menginap).

Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk belajar di rumah sakit?

Tempat saya bekerja telah mengatur banyak waktu untuk belajar. Ketika saya tidak lulus ujian nasional, saya hanya bekerja pada pagi hari dari Senin hingga Kamis dan belajar pada sore hari. Saya bekerja sehari penuh hanya pada hari Jumat, lalu libur pada akhir pekan maupun hari libur.

Bagaimana pengalaman Anda setelah lulus ujian?

Saya lulus sebagai asisten perawat pada tahun 2016, kemudian lulus menjadi perawat pada tahun 2017. Namun, semua menjadi lebih sulit setelah lulus ujian nasional. Karena setelah Anda menjadi perawat, Anda memiliki tanggung jawab yang sama dengan perawat Jepang dan harus menangani pasien secara penuh.

Lebih jelasnya lagi hal apa yang sulit?

Komunikasi di tempat kerja adalah hal yang paling sulit. Bahkan jika teknologi medis memiliki kesamaan, tetapi cara berkomunikasinya benar-benar berbeda, jadi saya mengalami kesulitan sampai akhirnya terbiasa.

Pada awalnya, saya tidak bisa memahami dialek. Ketika saya mencoba membimbing pasien ke kamar mandi, seorang rekannya berkata, “Dia tidak mandi hari ini.” Di kelas bahasa Jepang, saya hanya belajar “ikemasen” dan “ikenai”, jadi saya tidak bisa langsung memahami arti dari “iken”. Selain itu, dalam percakapan dengan pasien yang tidak bisa berkata dengan jelas, ada kalanya saya tidak memahami dengan benar apa yang ingin mereka katakan.

Staf rumah sakit bertukar informasi dan pendapat dalam “konferensi” yang benar-benar membuat saya gugup. Saya melaporkan kondisi pasien di depan semua rekan kerja dan menjelaskan dari sudut pandang perawat bagaimana sebaiknya pasien harus dirawat. Saya bingung karena tidak ada konferensi seperti itu dalam budaya keperawatan Vietnam.

Hal itu membuat gugup.

Saya takut menggunakan bahasa Jepang yang salah, tetapi sulit untuk menyampaikan dengan tepat apa yang ingin saya katakan. Dalam percakapan dengan kosakata khusus, terkadang tidak bisa memahami dengan jelas apa yang sedang dibicarakan. Saya sering berkonsultasi dengan rekan kerja yang baik hati untuk memastikan apakah saya memahami percakapan dengan benar atau tidak.

Bukankah sulit, bahkan bagi orang Jepang sekali pun untuk memahami “percakapan dengan kosakata khusus”?

Benar sekali. Seorang teman Jepang yang merupakan perawat baru juga mengalami kesulitan, dan mengatakan, “konferensi itu menakutkan”.

Apa yang membuat Anda terkesan bekerja di rumah sakit di Jepang?

Saya sangat terkesan melihat seorang pasien yang sudah berusia lanjut yang awalnya hanya bisa berbaring di tempat tidur, kemudian pulih sampai dia bisa berjalan tanpa kursi roda.

Saya sangat terkesan ketika saya melihat proses penyembuhan pasien dengan luka tekan (pressure ulcer) yang parah. Dia adalah pasien stadium 4 yang merupakan gejala paling parah, dan pada awalnya dia sudah merasa kesakitan dan mengerang hanya dengan sentuhan ringan saja. Namun, pasien tersebut juga pulih setelah perawatan hingga bisa berjalan.

Selain itu, kualitas “teknik aseptik” yang menjaga peralatan yang digunakan agar tetap steril dan membedakan antara area yang bersih dan yang tidak bersih dengan jelas juga sangat mengesankan. Di tempat saya bekerja di Vietnam, terkadang masih ada debu yang terbang terbawa udara, tetapi teknik aseptik di Jepang dikontrol dengan ketat.

Tolong beritahu kami tentang aktivitas Anda setelah kembali ke Vietnam.

Sejak Juni 2018, saya mengampu kuliah keperawatan di “Tokyo Health Science University Vietnam”, yang berafiliasi dengan University of Human Arts and Sciences (Prefektur Saitama).

Sejak Oktober 2019, saya melakukan riset dan kuliah program S2 di sekolah pascasarjana di Hanoi. Pada hari kerja saya mengajar program S1, dan pada akhir pekan saya belajar di sekolah pascasarjana.

Apa pendapat Anda tentang proyek Toyota?

Materi terapi menelan untuk orang berusia lanjut yang dibuat sebagai bagian dari proyek Toyota berguna dalam mengajar di perkuliahan. Saya pikir ini adalah pengetahuan baru bagi siswa Vietnam. Jumlah orang lanjut usia juga meningkat di Vietnam, tetapi menelan melalui rongga mulut tidak dianggap penting sebagaimana di Jepang.

Di Jepang ada pengetahuan khusus seperti cara menggunakan sendok untuk mencegah aspirasi dan pemilihan makanan, tetapi di Vietnam, ada anggapan bahwa “siapa pun dapat melakukan perawatan juga memilih makanan”.

Di rumah sakit Jepang, tes menelan dilakukan untuk mencegah pasien tersedak karena aspirasi, dan spesialis medis yang menentukan menu makanan. Tidak ada pemeriksaan seperti itu di Vietnam. Rehabilitasi menelan tidak optimal seperti di Jepang.

Bagaimana Anda menyampaikan pengalaman Anda di Jepang kepada murid Anda?

Banyak murid yang berkata, “Saya ingin bekerja di Jepang.” Saya sampaikan “Jika ada kesempatan, cobalah bekerja di luar negeri seperti Jepang. Dan suatu saat nanti, silakan kembali ke Vietnam dan manfaatkan pengalaman Anda,” kepada para murid. Saya akan terus mengajar murid Vietnam apa yang telah dipelajari dan kesulitan selama di Jepang.

 

TOP